Isnin, 7 Januari 2013

satu pengalaman lain di Jakarta

Tags



PENGALAMAN LAIN DI JAKARTA

Melihat Jakarta sepi dan bebas dari kesesakan, sungguh tidak menyeronokkan.
Kereta yang kami naiki meluncur dengan lancar di sepanjang jalan ke pasar Senen. Malah jalan ke Kwitang, ke Matraman, ke Jakarta Pusat dan beberapa tempat yang biasanya kami kunjungi juga kelihatan lengang.

“Kalau bukan macet, itu bukan Jakarta,” kata kawan saya beberapa hari lepas ketika kami mula tiba di ibu negara Indonesia itu. Di sini, peraturan yang ada adalah untuk dilanggar, bukan untuk ditaati, kata seorang kawan yang lain. Mereka sama-sama orang Jakarta, yang sudah terbiasa terhimpit di jalan-jalan berjam-jam lamanya sebelum sampai ke destinasi.

“Kelmarin ada kawan kita yang berangkat dari rumah di Jakarta jam 4.00 pagi tetapi sampai di Bogor jam 3.00 petang, cuba bayangkan, padahal kalau tidak `macet’ jarak itu boleh ditempuhi kira-kira dua jam atau paling lama pun tiga jam,” kata Pak Lasari yang membawa kami keliling kota yang baru saja memiliki Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Timbalan Gubernurnya.

Penduduk Jakarta dikatakan berjumlah 11 juta pada sebelah siang tetapi turun Sembilan juta pada sebelah malam. Demikian kisah yang dituturkan oleh seorang pemandu pelancong kerana pada sebelah malam, penghuni Jakarta itu pulang ke rumahnya di Bogor atau Bandung.

Tetapi pada hari itu Jakarta yang selalu sesak dan ramai itu membuat kami agak kecewa. Jalanannya sepi dan kurang sesak.Tidak seperti biasa dan tidak seperti kebanyakan orang, kami melihat Jakarta yang sepi itu kurang menarik.

Biasanya dengan kesesakan jalan raya yang maha dahsyat itu, kami melihat betapa manusia-manusianya adalah orang-orang yang begitu hebat. Hebat bersaing untuk sebuah perjuangan, untuk menjadikan kehidupan bernyala-nyala dengan semangat dan segala daya upaya untuk menghidupkan keluarga.

Dengan kesesakan itu, kita melihat betapa Jakarta dihuni oleh orang-orang sabar dan tabah, penuh toleransi. Kita melihat betapa orang memberikan laluan atau jalan kepada orang lain di tengah-tengah kesibukan dan kesesakan itu.

Kadang-kadang di tengah peluh yang meleleh kerana menahan hawa panas Jakarta, kita boleh melihat betapa penghuni-penghuninya berlumba-lumba untuk cepat sampai ke destinasi, kadangkala tidak mempedulikan segala peraturan yang ada semata-mata untuk melepaskan diri dari belenggu kesesakan yang menjadi fenomena wajib di Jakarta.

Namun pada hari itu, jalan jalan sepi. Tak ada kesesakan yang luar biasa seperti yang biasa kami lihat dan alami setiap kali tiba di Jakarta. Padahal pada hari sebelumnya, Jakarta meriah dengan letupan mercun dan  bunga api yang berwarna warni di angkasa.

Beberapa kedai dan kompleks membeli belah yang kami kunjungi masih belum dibuka. Toko buku di Kwitang juga belum dibuka, malah kami tidak dapat menukar wang tunai kerana kebanyakan kedai yang biasanya kami kunjungi masih belum beroperasi.

Apa yang terjadi dengan Jakarta?. Pasar Senen yang biasanya penuh sesak itu pun sepi daripada pengunjung.Hanya beberapa buah kedai dibuka. Mujurlah terdapat beberapa pengunjung di pasar buku Senen yang terdapat di tingkat empat itu.

Bagi kebanyakan orang-orang di Jakarta yang berdoa siang malam agar mereka terbebas dari kesesakan lalulintas, suasana sepi dan lengang seperti itu adalah sesuatu yang diharapkan dan diimpikan.Jakarta tanpa kesesakan adalah sebuah kota yang selalu menggamit dan menarik untuk dikunjungi.

Namun bagi kami, orang-orang yang mengunjungi Jakarta pada awal tahun baru, keadaan seperti itu agak mengecewakan. Kami tidak dapat membeli buku-buku, kami tidak dapat membeli barang-barang yang dipesan dan boleh didapati dengan harga yang murah di Jakarta. Hari itu, kebanyakan kedai masih tutup kerana menyambut tahun baru. Ramai orang Jakarta yang bercuti, kalau tidak ke Bogor atau ke Bandung, ke Taman Ancol dan sebagainya.

Barangkali untuk meringankan beban kekecewaan saya atau mungkin sengaja untuk membuat saya cemburu, rakan saya dari Pattani, memperlihatkan fotonya bersama mantan Presiden Habibie manakala seorang lagi rakan menceritakan pengalamannya menonton filem Habibie-Ainun yang ditayangkan di panggung wayang.Mengharukan, katanya. Ya, betapa mengharukan nasib saya pada hari itu.